Jumat, 17 Agustus 2012

SEJARAH PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengantar
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian.
Pendidikan Pondok Pesatren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang keunikannya serta simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga Islam mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari pakem induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam upaya penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban nyawa, agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa awal penyebaran ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan penyebaran islam di bumi jawa.[1]
Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan karakter dan, (2) Proses Pengajaran; dengan Proses Pengajaran Pondok Pesatren melakukan pengembangan nalar.[2] Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang dipergunakan Akademi Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang disitu ada seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada tiga elemen yang mampu membentuk Pondok Pesatren; (1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh negara, (2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan, (3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas_Inilah yang menurut Abdurrahman Wahid kemudian disebut ciri Pondok Pesatren sebagai Sub Kultur.[3]­_ Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren merupakan pola pendidikan integral antara yang religius dengan Pendidikan sosial yang merupakan pusat pengembangan ilmu yang bernafaskan islam dengan spesifikasi untuk mempertahankan ajaran al-sunnah dengan mengembangkan kajian keilmuan melalui khazanah kitab kuning_yang belakangan mengalami perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu, pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena peran sejarah yang dimainkanya.[4] maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai Sub Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya.[5]
B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut; (1) Apa yang melatarbelakangi munculnya Pendidikan Pondok Pesatren, (2) Elemen –elemen yang membentuk Pondok Pesatren? (3) dan, macam – macam tipologi Pondok Pesantren?
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Pondok Pesantren
Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan sehingga terjadi banyak penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang istilah yang dipakai ini tidak akan pernah ditemukan pada pakem induknya.
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma  sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari  tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga  kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Clifford Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.[6]
Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok Pesatren pertama kali dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati Syaikh datuk Kahfi mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang berarti orang yang mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan menjadi Pondok Pesatren yang bermakna “Tempat tinggal para murid yang mempelajari kitab suci”[7]
Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami kitab suci yang diharapkan menghasilkan generasi penerus keberlangsungan penyebaran ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang dengan melestarikan ajaran – ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia – manusia yang taat terhadapa agama.
B.     Latar Belakang Pendidikan Pondok Pesantren
Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga kita sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu panjang...[8] menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[9]
Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren pertama ia menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara.[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Agus Sunyoto dalam sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama yang diselenggarakan di Kediri pada tanggal 25 September 2005 (Sejarah Pendidikan Pesantren dan bagaimana Nalar Barat menghabisi Dunia Pesantren).
Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses munculnya Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang semula merupakan pusat keagamaan Hindu-Bhuda,
Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa kholifah Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata Yamani dalam Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di neraka jadi Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M. terjadi imigrasi besaran – besaran penduduk muslim Cina ke selatan [11]
Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12 M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari  catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada tahun 1405 M. Ia  menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho pernah berlabuh dipelabuhan tuban dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas Cina Muslim, [12]
Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam. Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel Delta. [13]
Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam Pararaton, terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat[14] (Sunan Ampel) datang dari Campa menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu Angkawijaya yang kemudian diizinkan menetap di Daerah Ngampel. 
Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan cina menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan Jati mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan Giri Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama Hindu-Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan, karna disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam.[15] Dalam perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan murid yang berasal dari daerah dermayu, tegal, semarang, dan demak.
Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah yang mengalir dalam proses islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan Raden Qosim. kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden Syarif Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan jati. Dan dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama padepokan di rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama pondok di tambah dengan pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar agamanya dengan orang islam yang mencari ilmu.[16]
Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang dilakukan oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran Islam yang ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi budaya Islam terhadap budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang  supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat diterima oleh anggota-anggotanya.[17] Tidak heran kalau kemudian proses islamisasi yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk lokal.
C.    Elemen – Elemen Pesatren
Zamakhsyari Dhofier, dalam karyanya ‘Tradisi Pesantren’ menentukan bahwa untuk berstatus sebagai pesantren seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan seorang kiai[18]
  1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan penggagas atau pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren.[19]. Dhofier berpendapat “Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban”[20]. Menurut Agus Sunyoto, sebutan kyai merupakan gelar kebangsawanan umat hindu yang di adopsi oleh umat islam, kyai adalah orang yang disegani, orang yang faham dan mendalam tentang ilmu agamanya.
  2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks keagamaan, sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal bersama, belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini merupakan ciri khas tradisi pesantren jawa yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Amin Haedari, berpendapat Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.[21]
  1. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.[22]
  2. Santri; orang yang belajar kitab teks – tek keagamaan, Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren, terdapat dua kelompok santri:
a.       Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da tentang kitab-kitab dasar $an menengah.
b.      Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong  dari pada santri mukim.[23]
c.   Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara me.gembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana ini mulai di tinggalkan.[24]
  1. Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih; 4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf.[25] Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam yang lain.[26] 
Sedangkan Metode Pengajaran  dilakukan dengan sistematis mulai dari pengenalan teori sampai pada tingkat praksis (teknis melaksanakannya), Metode Pengajaran Pondok Pesantren terbagi menjadi tiga yaitu :
a.       Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah sembahyang fardhu. Di jawa barat metode ini dikenal dengan Bandongan, sedangkan di Sumatra di kenal dengan sebutan Halaqah
b.      Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling rumit dari keseluruhan metode Pendidikan Islam Tradisional sebab sistem ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/ kendatipun demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
c.       Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari kitab yang dipelajarinya[27]
D.    Tipologi Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :
1.      Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
2.      Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3.      Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4.      Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1.       Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2.       Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3.       Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.
4.       Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)[28]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari proses masuknya islam ke Indonesia yang mengalami beberapa penolakan dari penduduk lokal yang kemudian dilakukan penelitian dengan hasil mentranformasikan budaya islam kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya dari Padepokan di rubah menjadi Pondok Pesantren.
Pondok pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang pada ajaran anbi Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning), dengan system asrama yang integral antara Kyai, Santri, dan Masjid sebagai pusat pembelajaran.
Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu; pertama Pondok Pesantren yang mempertahan kemurnian identitas aslinya atau yang dikenal dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren yang mulai mengadopsi hal – hal baru dalam pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok Pesatren dan System Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat kholafi masih banyak kategori model Pendidikan Pondok Pesantren.
 
Daftar Pustaka
1.      Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
2.      Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka Hidayah, 1999.
3.      Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001,
4.      Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com /journal/item/36 /PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)
5.      Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6.      HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005.
7.      Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
8.      Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta 1982
9.      Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14 Juli 2010)
10.  Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
11.  Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LkiS
12.  Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)


[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti Jenar yang mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi pertama Padepokan Giri Amparan Jati) yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan adanya sebuah konsep Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda
[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Hal. 13-14
[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal  7.
[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal 10
[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)


[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LKiS Hal 103
[8] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi;Esai-esai Pesastren,  hlm 12.
[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
[10] Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14 Juli 2010)
[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU. Kediri 25-27 September
[12]  Ibid
[13]  Ibid
[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari Sunan Ngampel atau Sayid Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo
[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3. Cet Ke IV Yogyakarta: LkiS, 2004.
[16] Agus Sunyoto, Suluk  Sang Pembaharu, Ibid hal. 213
[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.
[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982
[19]  HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 28
[20]  Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 56
[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 32

[22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 49

[23] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 52

[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 37
[25] HM. Amin Haedari, dkk, Op Cit hlm 39
[26] HM. Amin Haedari, dkk, Ibid hlm 41

[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
[28] Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com/journal/item/36/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

makasi pembahasannya mantap

Anonim mengatakan...

The Emperor Casino | Shootercasino
Our Online 제왕카지노 가입쿠폰 Casino brings a wide variety of slots, jackpots, live casino games and much more. Whether you're looking for a fun casino, or a thrilling